Rabu, 01 Juni 2011

Hutanku sayang Hutanku Malang

Pembakaran Hutan: Cenderung Menyalahkan Petani Tradisonal
Siaran Pers: 29 Agustus 2006
Jakarta - Tingginya jumlah titik api sepertinya semakin membuat gerah bukan saja propinsi dan negeri tetangga yang menerima kiriman asap, namun juga pejabat negeri. Namun, WALHI melihat bahwa sejumlah pernyataan yang dikeluarkan pejabat cenderung untuk menyalahkan peladang gilir balik/tradisional. Meskipun tidak membantah adanya pembukaan kebun dengan cara bakar yang dilakukan oleh masyarakat namun WALHI menilai angkanya tidak signifikan. Dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006, total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1 %.
Kertas briefing WALHI, yang dikeluarkan pada tanggal 8 Agustus lalu juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih dari 40 ribu hotspot. Angka ini menurun pada tahun 2005 menjadi 39 ribuan dikarenakan tingginya angka curah hujan pada saat itu. Kertas tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen titik api tersebut berada pada konsesi-konsesi perkebunan, HTI, dan HPH. Oleh karenanya, menjadi sangat disayangkan ketika sejumlah pejabat yang tidak memiliki akses terhadap informasi di lapangan, cenderung menyalahkan petani tradisional sebagai pelaku utama dan sekaligus menafikan fakta bahwa justru pelaku bisnislah yang menerima keuntungan paling besar dari landclearing dengan cara bakar ini.
Untuk itu, WALHI merasa berkepentingan untuk mengeluarkan nama-nama perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada tahun 2006 ini. Sebagian kecil dari nama-nama perusahaan tersebut telah dilakukan groundcheck untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima dari satelit. Groundcheck yang di beberapa tempat dilakukan bersama dengan Bapedalda kemudian mendapatkan kepastian bahwa sejumlah konsesi milik perusahaan telah terbakar. Menyebut di antaranya adalah PT. Agro Lestari Mandiri, PT Agro Bukit, PT Wilmar Plantation Group, PT Bulu Cawang Plantation, PT Bumi Pratama Khatulistiwa di Kalimantan Barat, PT Sumber Tama Nusa Pertiwi di Jambi, PT. Persada Sawit Mas (PSM) di Sumatera Selatan, PT. Agro karya Prima Lestari (Sinar Mas Group) di Kalimantan Tengah dan puluhan perusahaan lainnya di Riau.
”Sebagian besar perusahaan tersebut telah melakukan praktek serupa di tahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah terjerat dengan hukum. Di Riau, misalnya, PT Arara Abadi setiap tahunnya selalu terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesinya. Demikian halnya dengan sejumlah rekanan PT RAPP,” demikian Rully Syumanda, Pengkampanye Hutan WALHI.
Ditambahkan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun tindakan hukum yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan praktek yang merugikan ini. Satu-satunya upaya hukum yang diajukan Pemprov Riau kemudian dipeti-eskan untuk alasan yang tidak diketahui sama sekali. Terkait dengan hal tersebut, WALHI dalam waktu dekat akan meminta hearing kepada DPR RI terkait dengan kebijakan yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan terhadap konsesi miliknya apabila terjadi kebakaran hutan.
Menjadi penting untuk mengeluarkan satu kebijakan yang menyebutkan bahwa pelaku bisnis harus bertanggung jawab dan diberikan sanksi apabila terjadi kebakaran di konsesi miliknya. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, menyebutkan bahwa kebijakan ini sangat sangat dibutuhkan mengingat tren yang berkembang pada saat ini antara pemerintah dan perusahaan selalu saling menyalahkan bila terjadi kebakaran. Ujung-ujungnya petani tradisionalah yang menjadi kambing hitamnya.
Chalid juga menambahkan bahwa hanya dengan cara demikianlah jumlah titik api di negeri ini bisa dikurangi. ”Pelaku bisnis harus bertanggung jawab apabila terjadi kebakaran dikonsesinya. Tidak peduli siapa yang melakukan pembakaran, mereka harus menunjukkan itikad baik dan kemampuan yang dimilikinya untuk menjaga konsesinya sendiri”.
WALHI sendiri menilai bahwa UU Perkebunan No. 18/2004 yang meskipun memuat sanksi namun amat sulit diimplementasikan mengingat proses hukumnya masih menggunakan KUHP yang mensyaratkan keberadaan barang bukti, seperti korek, bensin, saksi mata, dsb. Untuk kebakaran yang terjadi pada satu kawasan yang cukup luas, menemukan bukti materiil tersebut sama halnya dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami.


PEMBAHASAN
Sumber : indonesiamongabay.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar